Meski KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur sudah meninggalkan 30 Desember 2009 lalu, namun “kehadiran” Gus Dur di arena Muktamar NU ke-32 di Makasar Sulawesi Selatan yang digelar 22-28 Maret 2010 masih terlihat. Secara fisik (jasad), memang Gus Dur sudah tiada. Tapi pikiran, gagasan, dan nyeleneh Gus Dur sepertinya masih mewarnai suasana Muktamar NU tersebut.
“Kehadiran” Gus Dur terlihat dari membanjirnya buku-buku yang berjudul dan ber-cover Gus Dur. Dari belasan stand bazar buku yang ada di arena Muktamar tersebut, nyaris tidak ada yang tanpa kehadiran buku Gus Dur. Selain itu, minat pengunjung pun untuk membeli/memiliki buku-buku Gus Dur tergolong tinggi dibanding buku-buku lain yang dipajang.
Seperti diakui Sales Repsentatif LKIS Yogyakarta Asep Rahmatullah, rata-rata per hari terjual 50 eksemplar buku Gus Dur. Bahkan dua judul buku, Islam Tanpa Kekerasan dan Gila Gus Dur sudah kehabisan stok. LKIS sendiri memajangkan buku yang berkaitan dengan Gus Dur antara lain; Biografi Gus Dur, TUhan TIdak Perlu Dibela, Prisma Pemikiran Gus Dur, Kiay Nyentrik Abdurrahman Wahid Membela Pemerintah, Menggegerkan Tradisi, Membaca Sejarah Nusantara, Tabayan Gus Dur, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, termasuk Islam Tanpa Kekerasan dan Gila Gus Dur.
Selain menjual buku-buku bertemakan Gus Dur, LKIS juga menyelenggarakan bedah buku Membaca Sejarah Nusantara. Buku tersebut dibedah Pengasuh Pesantren Kaliopak Yogyakarta M.Jadual Maula. Melalui bedah buku tersebut, mau tidak mau sosok Gus Dur pun dibicarakan dari berbagai sisi.
Lain lagi dengan Penerbit Kompas yang memajang buku Fatwa dan Canda Gus Dur yang ditulis KH Maman Imanulhaq Faqieh, Sejuta Hati Untuk Gus Dur, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Buku Fatwa dan Canda Gus Dur, juga menghadirkan penulisnya KH Maman dalam sebuah diskusi di arena bazar Muktamar NU ke-32. Kontan saja usai diskusi dan penyampaian pengalaman menarik dari KH Maman selama mengikuti perjalanan bersama Gus Dur 20 eksemplar bukunya terjual.
KH Maman sendiri dalam penyampaian pengalaman singkatnya bersama Gus Dur, banyak memberikan sosok Gus Dur yang sangat pantas menjadi inspirasi anak-anak muda NU dalam menatap masa depan. Dengan gaya yang cukup guyonan, KH Maman sepertinya mampu menghadirkan sekelumit sosok Gus Dur dihadapan audien. Maman menyebutkan bagaimana Gus Dur menyampaikan soal kematian tokoh nasional. Dengan menanyakan kesehatan sejumlah tokoh nasional yang tengah sakit, kalau-kalau dia yang dimaksud Gus Dur. Ternyata, kemudian Gus Dur sendirilah yang menghadap Sang Khalik-Nya.
Penjualan buku Fatwa dan Canda Gus Dur hanya ditandingi oleh buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari karya Zuhairi Misrawi yang rata-rata terjual 20 eksemplar per hari, kata Koordinator Pemasaran Buku Terbitan Kompas di Makasar Syahruddin K. Kompas sendiri memajangkan buku Gus Dur yang lain, Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, Damai Bersama Gus Dur, Santri Par Excellence, Perjalanan Politik Gus Dur, Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman. Sebagian besar buku tersebut menjadi pilihan para muktamirin NU ke-32.
Begitu pula dengan penerbit Erlangga memajangkan buku seri Gus Dur, masing-masing Gus Dur Siapa Sih Sampayen? dan Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur yang ditulis Ali Maskur Musa, politisi PKB yang kini di BPK. Sebagai seorang yang menjadi pusat perhatian, segala tindak tanduk Gus Dur akan menjadi bagian perjalanan sejarah bangsa. Di samping itu, kadang gagasan Gus Dur menimbulkan salah pengertian yang berujung pada terjadinya polemik. Buku ini memberikan penjelasan kepada masyarakat atas beberapa makna yang ada dibalik sebuah peristiwa, sekaligus sebagai upaya penempatan masalah yang sebenarnya dari beberapa tindakan dan pernyataan Gus Dur yang memiliki nilai historis.
Sedangkan buku Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur menyajikan dan membahas akar-akar pemikiran politik dan keagamaan Gus Dur. Sebagai tokoh kontroversial, sikap dan pemikiran Gus Dur kerap ditentang oleh kawan dan lawan. Paham kebangsaan yang dikembangkan selalu integratif dan inklusif dengan dinamika kehidupan bangsa dan negaranya. Selain memaparkan akar pemikiran politik Gus Dur. Penulis buku ini juga ingin membuktikan bahwa pemikiran dan tindakan Gus Dur selama hidupnya bukanlah suatu yang controversial, tapi justru merupakan implementasi dari pemahaman nilai-nilai Islam secara membumi.
Buku terbaru pasca wafatnya Gus Dur, berjudul Sejuta Gelar Untuk Gus Dur yang merupakan kumpulan tulisan dari sejumlah tokoh di negeri ini, juga hadir di stand PBNU. Buku dengan editor A Effendy CHoirie, Arief Mudatsir dan Hermawan Sulistyo tersebut, setidaknya menggambarkan bagaimana sosok Gus Dur dari pandangan sejumlah tokoh yang pernah berproses atau bersentuhan dengan Gus Dur. Tentu saja buku ini dapat menggambarkan kepada pembacanya, bagaimana para tokoh dan pengamat melihat Gus Dur .
Wafatnya Gus Dur meninggalkan banyak kesan bagi elemen bangsa, utamanya warga masyarakat Indonesia. Karena sosok Gus Dur yang berani memperjuangkan nasib kaum tertindas, tanpa melihat suku, bangsa dan agamanya. Meski tanpa kehadiran penulisnya Ali Maskur Musa, toh buku ini tetap dibedah di samping stand Erlangga. Tampil sebagai pembicara Dosen Pascasarjana Universitas Makasar DR. Firdaus. Kesimpulan dari bedah buku tersebut, sosok Gus Dur merupakan sosok yang konsisten pemikiran dengan sikapnya dalam proses kehidupannya. Hanya saja, kadang-kadang orang yang belum memahami pemikiran dan sikap Gus Dur cenderung melihat sebuah tindakan yang kontroversial.
Mengapa buku bertemakan Gus Dur banyak diminati? Tentu tidak terlepas dari sosok Gus Dur dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan proses keumatan. Pemikiran Gus Dur selalu dipahami sesuai dengan konteks dan kondisi yang dihadapi bangsa dan umat negeri ini. Sosok Gus Dur yang selalu berjuang dalam ranah lintas agama, golongan, kelompok dan bangsa, sehingga dapat diterima semua pihak. Sosok Gus Dur semakin jelas dapat diterima dari berbagai kalangan lintas agama, golongan, kelompok dan bangsa, ketika Gus Dur diberangkatkan dari Rumah Sakit setelah dinyatakan wafat hingga ke pemakaman di Jombang. Bahkan hingga hari ini pun para ziarah berdatangan dari berbagai penjuru.
Sambutan yang begitu meriah dapat disaksikan langsung jutaan rakyat Indonesia ketika menyaksikan melalui siaran langsung dari berbagai televise swasta nasional maupun internasional. Ribuan rakyat dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyon hingga rakyat kecil, tumpah ruah mengantar Gus Dur ke tempat peristirahatan terakhir di kawasan pondok pesantren Tebuireng Jombang. Seiring dengan itu, buku-buku Gus Dur pun laris di sejumlah tokoh buku pasca Gus Dur wafat.
Selain kehadiran buku Gus Dur di arena pameran Muktamar, juga sejumlah CD baik yang berisikan ceramah maupun alunan musik gambus dan shalawat Gus Dur. Beberapa spanduk pun di arena Muktamar terlihat memajang foto Gus Dur.
Yang tidak kalah pentingnya adalah, kandidat yang bertarung dalam pemilihan Ketua Umum PBNU 2010-2015 mendatang adalah mereka yang bersentuhan langsung dengan (pemikiran) Gus Dur. Mereka memiliki hubungan yang pernah berproses dengan Gus Dur. Bahkan tidak jarang pula mereka ber (di)bentur(k)an dengan Gus Dur . Sehingga dengan benturan tersebut sang tokoh dengan sendirinya menjadi tokoh pula. Dari nama-nama yang muncul sebagai kandidat Said Aqil Siraj, Salahuddin Wahid, Ahmad Bagja, Masdar F. Mas’udi dan Slamet Effendy Yusuf, tidak diragukan lagi sosok Gus Dur banyak sedikitnya akan mempengaruhinya.
Dengan demikian, walaupun secara fisik (jasad) Gus Dur tidak hadir ditengah muktamirin, namun “roh” Gus Dur sepertinya masih ikut hadiri di Muktamirin. Lewat buku, Gus Dur akan selalu hidup sepanjang bangsa ini masih menghargai jasa-jasa para tokoh terdahulunya. Selamat bermuktamar.
noerdin nu
Selasa, 20 September 2011
Misteri Makna “man ro-a minkum munkaron”
Hadits من رأى منكم منكرا، فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu Said Alkhudry ra. Biasanya diterjemahkan dengan “barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya, lalu jika tidak bisa maka dengan lidahnya, lalu jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman”
Dari terjemahan ini pembaca bisa mencatat bahwa penerjemahnya memaknakan bahwa kata fa dalam fa-in-lam (maka) bermaksud berurutan bergantian dan dzalika kembali kepada hati. Dan lagi, kata-kata tangan, lidah dan hati dimaksud sebagai anggota badan. Pencermatan yang lebih lanjutnya hanya sekitar tingkat kehati-hatian yang dimiliki orang yang memahami teks kepada konteks sebagaimana dibahas berikut ini.
Dari terjemahan dan pemaknaan seperti tertulis di atas, hadits ini dipahami sebagai suruhan kepada orang jika melihat kemungkaran dengan mata kepala sendiri untuk melakukan reaksi terhadapnya. Berbagai pemahaman telah terjadi dari yang ekstrim sampai yang hati-hati. Yang ekstrim memahami “merubah dengan tangan” seperti dengan memecahkan barang yang munkar. Termasuk ada riwayat bahwa sahabat periwayat ini menarik jubah Marwan ketika mau berkhutbah Ied sebelum solat, yang semestinya solat Ied dulu baru khutbah*). Marwan ketika itu adalah seorang raja dari Kerajaan Dinasti Umayah.
Ada juga pemahaman yang hati-hati. Paham ini menekankan syarat harus melihat dengan mata sendiri atau mendengar dengan telinga sendiri. Bukan “katanya“. Perbuatannya dalam beritndak harus oleh diri sendiri. Bukan interuksi atau menyuruh orang untuk bertindak. Kategori munkar harus yang disepakati keharamannya. Bukan pendapat golongan tertentu saja. Tindakan mengingkari kemunkaran bukanlah tindakan atas pelakunya seperti dengan menyiksanya atau menghukumnya. Begitu yang dikehendaki hadits. Orang yang boleh melakukan tindakan menghukum pelaku kemunkaran hanyalah petugas yang ditentukan negara. Bukan sembarang individu. Sebab “aamatil muslimin” (orang muslim pada umumnya) hanya memiliki kewajiban memberi nasehat, begitu sebagaimana dalam hadits “Agama itu nasehat”. Bukan bertindak.
Tindakan kepada kemunkaran juga perlu ditimbang-timbang sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Lihat Ibnul Qoyyim: I’lamul muwaqqi’in). Apa itu? Periksa dulu: 1) Apakah tindakan dapat menjerumuskan si pelaku dari kemunkaran satu kepada kemunkaran yang lebih parah lagi? Kalau begitu, jangan bertindak. 2) Apakah membuat pelaku berpindah dari kemunkaran yang satu kepada kemunkaran yang lain? 3) Apakah membuat pelaku berpindah dari kemungkaran dan berhenti atau kepada kebaikan?
Begitulah kelompok yang mengambil pemahaman dari makna lahiriah hadits. Meskipun bersandar kepada teks, tetap saja tidak menghasilkan pendapat yang sama. Ada yang keras, ada juga yang hati-hati. Manusia memang begitu.
Nah, bagaimana kalau memahami hadits ini dengan sedikit lebih cermat dalam berbahasa dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pemahaman kelompok diatas tadi?
Dengan memaknakan kata tangan, lidah dan hati kepada perbuatan anggota-anggota tersebut akan membawa kita kepada makna yang lebih kaya. Seperti perbuatan tangan dimaknakan sebagai kekuasaan. Dalam sistem lembaga dan negara, kekuasaan ini biasanya dihubungkan dengan wewenang manajemen atau pemerintah. Yakni pihak eksekutif. Sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran bahwa memang pemerintahlah sebagai pihak yang punya tangan, yakni yang tidak terhalang untuk melakukan tindakan. “Wa fii amwaalihim haqqun lis-Saa-ili wal-Mahruum” (dan dalam harta-harta mereka ada hak bagi peminta dan terhalang). Bahasa kuno Alquran yang luar biasa canggih ini sudah mengisyaratkan bahwa dalam tatanan masyarakat pasti ada dua pihak. Pihak pertama: elemen penuntut dan terhalang. Pihak kedua: yang dituntut dan tidak terhalang. Tidak terhalang maknanya memiliki otoritas dan legalitas untuk melakukan. Sedangkan pihak yang terhalang maknanya tidak memiliki otoritas. Pembagian ini dalam negara disebut sebagai pemerintah yang punya otoritas, warga umum yang tidak punya otoritas dan rakyat yang punya hak menuntut, serta pemerintah yang menjadi arahan tuntutan rakyat atas sebuah tugas yang diberikan.
Perbuatan lidah ini tidak hanya berbicara. Apalagi lidah sering dimaknakan sebagai bahasa. Kerja-kerja keilmuan merupakan kerja lidah, kebahasaan dan pembahasaan. Dalam sistem masyarakat dan negara, ada banyak lembaga yang membidangi kerja-kerja keilmuan, seperti organisasi agama, asosiasi profesi, majlis ulama, universitas, lembaga penelitian; di tingkat pemerintah seperti pengadilan dan kejaksaan; di tingkat negara seperti parlemen dan mahkamah. Mudahnya pemilik kerja-kerja ini disebut saja sebagai level kerja ilmu, legislatif dan yudikatif.
Apakah perbuatan hati? Mengingat, sependapat-tidak sependapat. mendukung dan legitimasi. Legitimasi rakyat atau kedaulatan rakyat adalah posisi tertinggi dalam negara. Posisinya sebagai muasal amanah kenegaraan. Kalau mencermati makna ini, tentulah kita bertanya-tanya, mengapa kedaulatan rakyat kok disebut pada posisi selemah-lemah setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan kerja ilmu? Lemah ini pada sisi pembagian wewenang mekanisme-aksi. Kalau pada kedaulatan, tentu saja yang tertinggi. Tetapi dalam mekanisme-aksi, warga perlu berhenti untuk tidak mengambil apa yang sudah diberikan kepada lembaga-lembaga yang telah disepakati menjadi bagian sistem para pemilik otoritas-aksi.
Dalam kontek kenegaraan, NU memiliki pemahaman diatas. Begitulah yang pernah disampaikan dalam banyak ceramah Almaghfur-lah KH Fuad Hasyim.
Pemaknaan tadi muncul dari pemaknaan tangan, lidah dan hati bukan kepada sebagai anggota tubuh, melainkan kepada perbuatan-perbuatan yang muncul dari ketiganya. Pemaknaan ini menggambarkan betapa kebenaran yang terkandung dari sabda Nabi saww melintas ruh zaman. Masyarakat yang hidup pada zaman Nabi diperkirakan belum menangkap makna sebagaimana yang dihasilkan oleh ulama generasi penerusnya yang hidup di abad jelang kiamat ini (baca: mutaakhir).
Sekarang mari kita mengembangkan kecermatan sedikit lagi agar bisa menangkap misteri makna yang lain yang mungkin dicerminkan dari makna hadits tersebut. Untuk memandunya disini penandaan diberikan: munkaron (a), yughoyyir (b), “fa“-in-lam (c), dzalika (d). Ditambah tangan-lidah-kalbu dikembangkan maknanya sebagaimana di atas. Disini kita dituntut untuk menggunakan keterampilan nahwu, balaghoh dan fiqhul-lughoh.
Munkaron disebut tanpa al (the). Padahal di ayat-ayat Alquran manakala menyebut apa yang dilarang pasti mengungkapkannya dengan al-munkar bersama al-ma’ruf. Amar ma’ruf nahi munkar dalam bahasa Alquran pasti ada al (the), baik pada ma’ruf maupun munkar. Hebatnya lagi, Alquran mencermati al-munkar sebagai yang kedua setelah al-ma’ruf. Tidak sendirian. Bukan pekerjaan sendiri-sendiri. Sepertinya Alquran ingin berkata: “lakukan, perbanyak dan sibukkan dengan yang ma’ruf, maka pastilah yang munkar berhenti“. Memang, perbuatan yang munkar terjadi sebab pelakunya tidak punya “kerjaan“. Kejahatan itu merajalela sumbernya dari kekosongan kegiatan. Karena itu Alquran menjadikan keduanya sebagai dwitunggal dengan menonjolkan yang ma’ruf untuk didahulukan sebagai fokus kegiatan. Maknanya, yang diajarkan Alquran adalah perbanyak kesibukan-kesibukan dengan aktifitas yang manfaat biar tak terfikir untuk melakukan yang munkar. Begitu penekanan yang bisa diambil hikmahnya dari ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar. Kalau kaum mukmin mengamalkan ayat ini seperti dalam hikmah ini pasti tidak ada pengangguran dan sedikit kemunkaran.
Kembali kepada munkaron yang tanpa al (the). Karena itu, munkaron ini mungkin atau bahkan pasti bukan al-munkar pada amar ma’rfu nahi munkar. Jadi kembalikan saja ke makna bahasa. Secara bahasa, munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal, asing, tak pasti. Tidak terbatas pada makna sebagai sesuatu yang dilarang agama. Pada maksud ini, pemahaman NU terhadap hadits ini dalam kontek vis a vis Negara sangat tepat.
Yughoyyir (mengubah). Bukan yuzil (menghilangkan). Bukan yanha ’an (mencegah). Bukan yubaddil (menggantikan). Yubaddil itu seperti mencabut pohon yang lama lalu menempatkan pohon baru pada tempat pohon lama. Yughoyyir bisa berbentuk merapihkan daun dan ranting, mungkin juga membersihkan dari hama, mempercantik lingkungannya. Jadi tahan dulu dari berfikir ekstrim seperti mencabut. Atau boleh jadi keadaan munkaron ini menuntut makna proaktif, seperti memperkaya diri dengan pengetahuan perihalnya. Seperti dengan melakukan penelitian, memeriksa, menyusun pengetahuan mengenainya, baru kemudian membuat keputusan. Jadi merubah keadaan diri dari keadaan yang jahil mengenainya kepada keadaan alim, ini juga bermakna yughoyyir.
Fa-in-lam pada terjemahan di atas dimaknakan sebagai urutan yang menggantikan. Padahal mungkin juga keadaannya sebagai urutan yang ditambahkan, memperkuat.
Dzalika menunjuk kata yang jauh. Kata “hati“ atau perbuatan dengan hati adalah yang terdekat dengan kata dzalika. Yang jauh itu mestinya kata “tangan“ atau perbuatan dengan tangan. Jadi yang selemah-lemah iman itu mestinya perbuatan tangan. Apalagi disebutkan bahwa doa adalah senjata kaum mukmin. Jelas berdoa itu perbuatan hati, bukan perbuatan tangan. Apalagi disebutkan sehabis Perang Badar bahwa peperangan dengan tangan di Badar itu sebagai jihad kecil, sementara peperangan selanjutnya dengan hati melawan nafsu sebagai jihad besar. Apalagi dikatakan bahwa iman atau ilmu itu lemah bila tidak meresap kedalam kalbu. Jangankan yang baru di tangan, yang sudah di lidah saja dan sebatas tenggorokan, dia akan mudah pupus seperti panah yang lepas dari busur.
Dengan pencermatan seperti ini, seseorang mungkin akan mendapat ide dari hadits ini sebagai juklak bagi operasional ayat “Allah tidak merubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka merubah apa pada diri mereka sendiri“ dan dikembangkan kedalam banyak aspek, misalnya pendidikan dan manajemen.
Dalam pendidikan: “bila ada kesangsian dengan mutu pendidikan anak, maka giringlah dia untuk mengikuti kelas-kelas pengajaran dan praktek-praktek; tidak cukup ini, tambahi dengan pengayaan konsep melalui pengidean, imajinasi dan pembahasaan oleh dirinya sendiri tentang apa yang sedang dihadapi; tentu saja dia pun harus menghadapinya dengan sepenuh jiwa dan ditangani oleh guru dengan segenap kasih sayang sepenuh jiwa juga. Karena dengan hanya cara konvensional (kelas dan praktek), ia adalah selemah-lemah model pendidikan“.
Dalam nasehat: “keasingan akan sirna bila kita mau menyentuhnya. Lalu menambahnya dengan pengenalan yang utuh. Apalagi bila dihadapi dengan sepenuh hati. Karena dengan menyentuh saja adalah selemah-lemah motifasi“.
Dalam manjemen: “sistem organisasi harus memadukan tiga elemen. Elemen eksekutif, elemen legislatif dan ilmu, serta elemen legitimasi dan dukungan anggota. Berpangku pada elemen eksekutif saja adalah selemah-lemah organisasi“.
Dari sini dapat terlihat betapa sabda Nabi pemaknaannya dapat menembus ruh zaman. Makna-makna dan hikmah-hikmahnya bisa berkembang melintas pengalaman zaman. Inilah gunanya menuntut ilmu, agar dengannya dapat memperoleh hikmah-hikmah baru bagi penemuan ide-ide pengamalan yang baik yang baru, untuk membangun kemajuan dan peradaban yang baru, sembari memegang teguh yang sudah baku [al-muhafadhoh alal qodiim as-solih wal akhdzu bil jadiid al-aslah]. Demi hal inilah diantaranya kita hajat dengan ilmu, selain demi mempercantik akhlak dan memperindah makna perbuatan.
Wallaahu a’lam.
*) Riwayat ini tidak bisa disebut sababul-wurud hadits, melainkan pemahaman sahabat kepada hadits. Yang disebut sababul-wurud semestinya peristiwa dahulu baru datang sabda. Bukan sabda dulu baru peristiwa. Sedangkan pemahaman itu bergantung kepada tingkat kecermatan pemiliknya. Di kalangan para sahabat sendiri tidak sama dalam hal ini.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu Said Alkhudry ra. Biasanya diterjemahkan dengan “barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya, lalu jika tidak bisa maka dengan lidahnya, lalu jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman”
Dari terjemahan ini pembaca bisa mencatat bahwa penerjemahnya memaknakan bahwa kata fa dalam fa-in-lam (maka) bermaksud berurutan bergantian dan dzalika kembali kepada hati. Dan lagi, kata-kata tangan, lidah dan hati dimaksud sebagai anggota badan. Pencermatan yang lebih lanjutnya hanya sekitar tingkat kehati-hatian yang dimiliki orang yang memahami teks kepada konteks sebagaimana dibahas berikut ini.
Dari terjemahan dan pemaknaan seperti tertulis di atas, hadits ini dipahami sebagai suruhan kepada orang jika melihat kemungkaran dengan mata kepala sendiri untuk melakukan reaksi terhadapnya. Berbagai pemahaman telah terjadi dari yang ekstrim sampai yang hati-hati. Yang ekstrim memahami “merubah dengan tangan” seperti dengan memecahkan barang yang munkar. Termasuk ada riwayat bahwa sahabat periwayat ini menarik jubah Marwan ketika mau berkhutbah Ied sebelum solat, yang semestinya solat Ied dulu baru khutbah*). Marwan ketika itu adalah seorang raja dari Kerajaan Dinasti Umayah.
Ada juga pemahaman yang hati-hati. Paham ini menekankan syarat harus melihat dengan mata sendiri atau mendengar dengan telinga sendiri. Bukan “katanya“. Perbuatannya dalam beritndak harus oleh diri sendiri. Bukan interuksi atau menyuruh orang untuk bertindak. Kategori munkar harus yang disepakati keharamannya. Bukan pendapat golongan tertentu saja. Tindakan mengingkari kemunkaran bukanlah tindakan atas pelakunya seperti dengan menyiksanya atau menghukumnya. Begitu yang dikehendaki hadits. Orang yang boleh melakukan tindakan menghukum pelaku kemunkaran hanyalah petugas yang ditentukan negara. Bukan sembarang individu. Sebab “aamatil muslimin” (orang muslim pada umumnya) hanya memiliki kewajiban memberi nasehat, begitu sebagaimana dalam hadits “Agama itu nasehat”. Bukan bertindak.
Tindakan kepada kemunkaran juga perlu ditimbang-timbang sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Lihat Ibnul Qoyyim: I’lamul muwaqqi’in). Apa itu? Periksa dulu: 1) Apakah tindakan dapat menjerumuskan si pelaku dari kemunkaran satu kepada kemunkaran yang lebih parah lagi? Kalau begitu, jangan bertindak. 2) Apakah membuat pelaku berpindah dari kemunkaran yang satu kepada kemunkaran yang lain? 3) Apakah membuat pelaku berpindah dari kemungkaran dan berhenti atau kepada kebaikan?
Begitulah kelompok yang mengambil pemahaman dari makna lahiriah hadits. Meskipun bersandar kepada teks, tetap saja tidak menghasilkan pendapat yang sama. Ada yang keras, ada juga yang hati-hati. Manusia memang begitu.
Nah, bagaimana kalau memahami hadits ini dengan sedikit lebih cermat dalam berbahasa dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pemahaman kelompok diatas tadi?
Dengan memaknakan kata tangan, lidah dan hati kepada perbuatan anggota-anggota tersebut akan membawa kita kepada makna yang lebih kaya. Seperti perbuatan tangan dimaknakan sebagai kekuasaan. Dalam sistem lembaga dan negara, kekuasaan ini biasanya dihubungkan dengan wewenang manajemen atau pemerintah. Yakni pihak eksekutif. Sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran bahwa memang pemerintahlah sebagai pihak yang punya tangan, yakni yang tidak terhalang untuk melakukan tindakan. “Wa fii amwaalihim haqqun lis-Saa-ili wal-Mahruum” (dan dalam harta-harta mereka ada hak bagi peminta dan terhalang). Bahasa kuno Alquran yang luar biasa canggih ini sudah mengisyaratkan bahwa dalam tatanan masyarakat pasti ada dua pihak. Pihak pertama: elemen penuntut dan terhalang. Pihak kedua: yang dituntut dan tidak terhalang. Tidak terhalang maknanya memiliki otoritas dan legalitas untuk melakukan. Sedangkan pihak yang terhalang maknanya tidak memiliki otoritas. Pembagian ini dalam negara disebut sebagai pemerintah yang punya otoritas, warga umum yang tidak punya otoritas dan rakyat yang punya hak menuntut, serta pemerintah yang menjadi arahan tuntutan rakyat atas sebuah tugas yang diberikan.
Perbuatan lidah ini tidak hanya berbicara. Apalagi lidah sering dimaknakan sebagai bahasa. Kerja-kerja keilmuan merupakan kerja lidah, kebahasaan dan pembahasaan. Dalam sistem masyarakat dan negara, ada banyak lembaga yang membidangi kerja-kerja keilmuan, seperti organisasi agama, asosiasi profesi, majlis ulama, universitas, lembaga penelitian; di tingkat pemerintah seperti pengadilan dan kejaksaan; di tingkat negara seperti parlemen dan mahkamah. Mudahnya pemilik kerja-kerja ini disebut saja sebagai level kerja ilmu, legislatif dan yudikatif.
Apakah perbuatan hati? Mengingat, sependapat-tidak sependapat. mendukung dan legitimasi. Legitimasi rakyat atau kedaulatan rakyat adalah posisi tertinggi dalam negara. Posisinya sebagai muasal amanah kenegaraan. Kalau mencermati makna ini, tentulah kita bertanya-tanya, mengapa kedaulatan rakyat kok disebut pada posisi selemah-lemah setelah eksekutif, legislatif, yudikatif dan kerja ilmu? Lemah ini pada sisi pembagian wewenang mekanisme-aksi. Kalau pada kedaulatan, tentu saja yang tertinggi. Tetapi dalam mekanisme-aksi, warga perlu berhenti untuk tidak mengambil apa yang sudah diberikan kepada lembaga-lembaga yang telah disepakati menjadi bagian sistem para pemilik otoritas-aksi.
Dalam kontek kenegaraan, NU memiliki pemahaman diatas. Begitulah yang pernah disampaikan dalam banyak ceramah Almaghfur-lah KH Fuad Hasyim.
Pemaknaan tadi muncul dari pemaknaan tangan, lidah dan hati bukan kepada sebagai anggota tubuh, melainkan kepada perbuatan-perbuatan yang muncul dari ketiganya. Pemaknaan ini menggambarkan betapa kebenaran yang terkandung dari sabda Nabi saww melintas ruh zaman. Masyarakat yang hidup pada zaman Nabi diperkirakan belum menangkap makna sebagaimana yang dihasilkan oleh ulama generasi penerusnya yang hidup di abad jelang kiamat ini (baca: mutaakhir).
Sekarang mari kita mengembangkan kecermatan sedikit lagi agar bisa menangkap misteri makna yang lain yang mungkin dicerminkan dari makna hadits tersebut. Untuk memandunya disini penandaan diberikan: munkaron (a), yughoyyir (b), “fa“-in-lam (c), dzalika (d). Ditambah tangan-lidah-kalbu dikembangkan maknanya sebagaimana di atas. Disini kita dituntut untuk menggunakan keterampilan nahwu, balaghoh dan fiqhul-lughoh.
Munkaron disebut tanpa al (the). Padahal di ayat-ayat Alquran manakala menyebut apa yang dilarang pasti mengungkapkannya dengan al-munkar bersama al-ma’ruf. Amar ma’ruf nahi munkar dalam bahasa Alquran pasti ada al (the), baik pada ma’ruf maupun munkar. Hebatnya lagi, Alquran mencermati al-munkar sebagai yang kedua setelah al-ma’ruf. Tidak sendirian. Bukan pekerjaan sendiri-sendiri. Sepertinya Alquran ingin berkata: “lakukan, perbanyak dan sibukkan dengan yang ma’ruf, maka pastilah yang munkar berhenti“. Memang, perbuatan yang munkar terjadi sebab pelakunya tidak punya “kerjaan“. Kejahatan itu merajalela sumbernya dari kekosongan kegiatan. Karena itu Alquran menjadikan keduanya sebagai dwitunggal dengan menonjolkan yang ma’ruf untuk didahulukan sebagai fokus kegiatan. Maknanya, yang diajarkan Alquran adalah perbanyak kesibukan-kesibukan dengan aktifitas yang manfaat biar tak terfikir untuk melakukan yang munkar. Begitu penekanan yang bisa diambil hikmahnya dari ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar. Kalau kaum mukmin mengamalkan ayat ini seperti dalam hikmah ini pasti tidak ada pengangguran dan sedikit kemunkaran.
Kembali kepada munkaron yang tanpa al (the). Karena itu, munkaron ini mungkin atau bahkan pasti bukan al-munkar pada amar ma’rfu nahi munkar. Jadi kembalikan saja ke makna bahasa. Secara bahasa, munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal, asing, tak pasti. Tidak terbatas pada makna sebagai sesuatu yang dilarang agama. Pada maksud ini, pemahaman NU terhadap hadits ini dalam kontek vis a vis Negara sangat tepat.
Yughoyyir (mengubah). Bukan yuzil (menghilangkan). Bukan yanha ’an (mencegah). Bukan yubaddil (menggantikan). Yubaddil itu seperti mencabut pohon yang lama lalu menempatkan pohon baru pada tempat pohon lama. Yughoyyir bisa berbentuk merapihkan daun dan ranting, mungkin juga membersihkan dari hama, mempercantik lingkungannya. Jadi tahan dulu dari berfikir ekstrim seperti mencabut. Atau boleh jadi keadaan munkaron ini menuntut makna proaktif, seperti memperkaya diri dengan pengetahuan perihalnya. Seperti dengan melakukan penelitian, memeriksa, menyusun pengetahuan mengenainya, baru kemudian membuat keputusan. Jadi merubah keadaan diri dari keadaan yang jahil mengenainya kepada keadaan alim, ini juga bermakna yughoyyir.
Fa-in-lam pada terjemahan di atas dimaknakan sebagai urutan yang menggantikan. Padahal mungkin juga keadaannya sebagai urutan yang ditambahkan, memperkuat.
Dzalika menunjuk kata yang jauh. Kata “hati“ atau perbuatan dengan hati adalah yang terdekat dengan kata dzalika. Yang jauh itu mestinya kata “tangan“ atau perbuatan dengan tangan. Jadi yang selemah-lemah iman itu mestinya perbuatan tangan. Apalagi disebutkan bahwa doa adalah senjata kaum mukmin. Jelas berdoa itu perbuatan hati, bukan perbuatan tangan. Apalagi disebutkan sehabis Perang Badar bahwa peperangan dengan tangan di Badar itu sebagai jihad kecil, sementara peperangan selanjutnya dengan hati melawan nafsu sebagai jihad besar. Apalagi dikatakan bahwa iman atau ilmu itu lemah bila tidak meresap kedalam kalbu. Jangankan yang baru di tangan, yang sudah di lidah saja dan sebatas tenggorokan, dia akan mudah pupus seperti panah yang lepas dari busur.
Dengan pencermatan seperti ini, seseorang mungkin akan mendapat ide dari hadits ini sebagai juklak bagi operasional ayat “Allah tidak merubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka merubah apa pada diri mereka sendiri“ dan dikembangkan kedalam banyak aspek, misalnya pendidikan dan manajemen.
Dalam pendidikan: “bila ada kesangsian dengan mutu pendidikan anak, maka giringlah dia untuk mengikuti kelas-kelas pengajaran dan praktek-praktek; tidak cukup ini, tambahi dengan pengayaan konsep melalui pengidean, imajinasi dan pembahasaan oleh dirinya sendiri tentang apa yang sedang dihadapi; tentu saja dia pun harus menghadapinya dengan sepenuh jiwa dan ditangani oleh guru dengan segenap kasih sayang sepenuh jiwa juga. Karena dengan hanya cara konvensional (kelas dan praktek), ia adalah selemah-lemah model pendidikan“.
Dalam nasehat: “keasingan akan sirna bila kita mau menyentuhnya. Lalu menambahnya dengan pengenalan yang utuh. Apalagi bila dihadapi dengan sepenuh hati. Karena dengan menyentuh saja adalah selemah-lemah motifasi“.
Dalam manjemen: “sistem organisasi harus memadukan tiga elemen. Elemen eksekutif, elemen legislatif dan ilmu, serta elemen legitimasi dan dukungan anggota. Berpangku pada elemen eksekutif saja adalah selemah-lemah organisasi“.
Dari sini dapat terlihat betapa sabda Nabi pemaknaannya dapat menembus ruh zaman. Makna-makna dan hikmah-hikmahnya bisa berkembang melintas pengalaman zaman. Inilah gunanya menuntut ilmu, agar dengannya dapat memperoleh hikmah-hikmah baru bagi penemuan ide-ide pengamalan yang baik yang baru, untuk membangun kemajuan dan peradaban yang baru, sembari memegang teguh yang sudah baku [al-muhafadhoh alal qodiim as-solih wal akhdzu bil jadiid al-aslah]. Demi hal inilah diantaranya kita hajat dengan ilmu, selain demi mempercantik akhlak dan memperindah makna perbuatan.
Wallaahu a’lam.
*) Riwayat ini tidak bisa disebut sababul-wurud hadits, melainkan pemahaman sahabat kepada hadits. Yang disebut sababul-wurud semestinya peristiwa dahulu baru datang sabda. Bukan sabda dulu baru peristiwa. Sedangkan pemahaman itu bergantung kepada tingkat kecermatan pemiliknya. Di kalangan para sahabat sendiri tidak sama dalam hal ini.
Tentang NU
Tentang NU
Nama Madrasah Aliyah di Buntet Pesantren ini mengambil nama yang disandingkan dengan Nahdlatul Ulama. Meskipun hanya nama namun tentu saja ada sederet kaitan dan kecintaan sebagai warga Nahdliyin kepada organisasi sebesar NU. Namun demikian antara MANU dengan PBNU tidak ada kaitan secara struktur namun ada kaitan secara kultural, salah satunya Buntet sebagai pesantren tua yang tokoh pendirinya sangat aktif membantu organisasi saat awal berdirinya.
Untuk mengenang itu, maka antara Buntet dan NU terkait erat, dan untuk mengabadikan keterkaitan itu, maka sekolah setingkat SMP dan SMA di bawah Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) di Buntet Pesantren mengambil nama Madarasah Tsanawiyah NU dan Madrasah Aliyah NU.
Berikut tulisan seputar Nahdlatul Ulama
1. Sejarah
2. Faham Keagamaan
3. Sikap Kemasyarakatan
4. Dinamika
5. Tujuan Organisasi
6. Struktur
7. Jaringan
Langganan:
Postingan (Atom)